Oleh: stafflampau279
Dalam setiap awal kepemimpinan, janji reformasi birokrasi hampir selalu dikedepankan. Sayangnya, yang sering terjadi adalah reformasi yang elitis dan sepihak—seolah aparatur sipil negara (ASN) hanya menjadi objek yang “dibersihkan”, bukan subjek yang diajak bermitra.
Padahal, hasil riset mutakhir dari Sarah F. Anzia dan Jessica Trounstine (American Political Science Review, 2024) justru menyodorkan temuan sebaliknya. Menggunakan data dari lebih dari 1.000 kota di Amerika Serikat, mereka membuktikan bahwa adopsi sistem pelayanan sipil yang profesional justru didorong dari dalam, terutama oleh pegawai kota yang terorganisir secara politik dan administratif.
Kota-kota dengan ASN yang aktif, sadar kepentingan institusional, dan membangun solidaritas profesi lebih mampu mendorong reformasi birokrasi berbasis meritokrasi. Ini menjadi sinyal penting bagi kepala daerah yang baru dilantik: jangan musuhi birokrat, rangkul mereka sebagai mitra perubahan.
Bagi pasangan MUBAROKAH yang telah menjalani 100 hari pertama, pelajaran ini krusial. Jika reformasi ingin berkelanjutan, jangan hanya fokus pada rotasi jabatan atau digitalisasi layanan.
Mulailah dengan membangun kepercayaan internal, mengidentifikasi pegawai berintegritas, membentuk forum ASN lintas dinas, dan memberi ruang kritik yang aman dalam birokrasi sendiri.Yang dibutuhkan bukan manajemen ketakutan, tetapi manajemen partisipasi.
Pegawai yang merasa dihargai dan diajak berpikir bersama lebih berani melawan inefisiensi dan korupsi di lingkungannya.
Sudah saatnya kita ubah narasi: ASN bukan beban demokrasi, tapi bisa jadi penjaga etika dan profesionalisme pemerintahan. Syaratnya satu—pemimpinnya tidak otoriter, dan pegawainya tidak ditinggal dalam ruang sunyi.
—
Sumber:
Anzia, S. F., & Trounstine, J. (2024). Civil Service Adoption in America: The Political Influence of City Employees. American Political Science Review.
🔗https://doi.org/10.1017/S0003055424000089