Membangun Kenegarawanan dari Daerah: Refleksi untuk Pemimpin Masa Depan

Dalam situasi politik yang kerap diliputi kepentingan sesaat dan polarisasi, kita perlu mengingat kembali makna kenegarawanan—yakni kepemimpinan yang lahir dari kesadaran untuk melayani rakyat secara utuh, bukan hanya kelompok atau golongan tertentu. Gagasan ini penting bukan hanya untuk pejabat di tingkat nasional, tetapi juga bagi para pemimpin di daerah, termasuk di Kabupaten Sukabumi. Di sinilah tanggung jawab moral dan politik pemimpin daerah diuji: apakah mereka hanya menjadi perpanjangan dari kekuasaan atas, atau benar-benar menjadi jembatan aspirasi warganya?

Dalam sebuah esai berjudul The Vacuum of Authority, Daniel Stid dari William and Flora Hewlett Foundation menekankan bahwa kenegarawanan adalah kemampuan untuk melampaui kepentingan pribadi dan partai, lalu mengabdi kepada rakyat secara keseluruhan. Seorang pemimpin sejati bukan hanya bertanya “apa yang menguntungkan bagi kelompok saya?”, tetapi “apa yang terbaik bagi masyarakat secara luas?” Di daerah seperti Sukabumi, yang tengah bergerak menuju pembangunan berkelanjutan, semangat ini sangat penting agar pembangunan tidak elitis dan eksklusif, melainkan inklusif dan merata, menyentuh seluruh desa hingga kota.

Kenegarawanan juga berarti mampu memposisikan setiap kebijakan dan program dalam konteks sejarah dan nilai-nilai lokal. Di tengah gempuran informasi dan distraksi digital, pemimpin yang visioner akan mengajak masyarakatnya untuk kembali memahami dari mana mereka berasal dan ke mana mereka ingin menuju. Dalam konteks Sukabumi, hal ini bisa diartikan sebagai upaya untuk merawat warisan budaya, menjaga kelestarian alam, serta menumbuhkan kembali nilai-nilai gotong royong dan kebersamaan yang menjadi akar identitas warga.

Lebih jauh lagi, kenegarawanan menuntut kerja keras yang konsisten. Ia bukan hanya tentang pidato indah atau citra di media sosial, tapi tentang keberanian membangun koalisi, menjalin komunikasi lintas kelompok, dan membawa perubahan nyata melalui kebijakan yang bisa dirasakan langsung oleh rakyat. Misalnya, bagaimana pemimpin daerah mampu merumuskan kebijakan pariwisata yang tidak hanya menguntungkan investor, tetapi juga memberdayakan masyarakat lokal, membuka lapangan kerja, dan menjaga kearifan lokal sebagai daya tarik wisata utama.

Dalam peringatan 250 tahun Deklarasi Kemerdekaan Amerika, Daniel Stid mengajak warganya untuk merenung: dalam 50 tahun ke depan, bagaimana sejarah akan menilai generasi kita hari ini? Pertanyaan ini juga patut kita ajukan di tingkat lokal. Dalam 10, 20, atau 50 tahun ke depan, bagaimana anak cucu kita akan mengenang pemimpin hari ini? Apakah sebagai tokoh yang hanya memikirkan pencitraan dan jabatan, atau sebagai negarawan yang menanam benih perubahan, meski hasilnya baru dipanen generasi berikutnya?

Sukabumi Kahiji sebagai platform informasi dan inspirasi lokal dapat menjadi ruang refleksi publik untuk mendorong tumbuhnya kenegarawanan dari bawah. Kita perlu memupuk kesadaran bersama bahwa kepemimpinan bukan hanya tentang kekuasaan, tetapi juga tentang tanggung jawab etis dan spiritual untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih baik. Dengan semangat ini, kita berharap muncul lebih banyak pemimpin di Sukabumi yang tidak sekadar berpolitik, tetapi benar-benar berjiwa negarawan—mereka yang bekerja bukan untuk popularitas, tetapi untuk kemaslahatan.

Baca juga : https://sukabumikahiji.com/buruh-dan-karyawan-dunia-kerja-kita-modern/

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *