Refleksi Hari Buruh: Dari keringat, Hingga Makna Kemanusiaan

Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional, atau May Day, sebuah momentum yang menyatukan ingatan kolektif tentang perjuangan kelas pekerja, sejarah ketidakadilan, serta harapan akan tatanan kerja yang lebih manusiawi. Hari ini bukan hanya milik para buruh, melainkan milik seluruh umat manusia, karena di balik setiap rumah, jalan, jembatan, buku, dan teknologi, ada tangan-tangan pekerja yang tak selalu tampak di permukaan, namun menopang fondasi peradaban.

Hari Buruh lahir dari api perjuangan. Akar sejarahnya berasal dari Amerika Serikat, tepatnya pada tahun 1886 ketika ratusan ribu buruh di seluruh negeri melancarkan mogok massal menuntut pengurangan jam kerja menjadi delapan jam sehari. Tuntutan itu kemudian memuncak dalam peristiwa Haymarket di Chicago, di mana aksi damai berubah menjadi tragedi berdarah setelah ledakan bom memicu bentrok antara polisi dan demonstran. Beberapa aktivis buruh ditangkap, bahkan dihukum mati, dalam persidangan yang kini dianggap tidak adil oleh sejarah. Mereka yang dihukum bukan karena kejahatan yang mereka lakukan, tetapi karena keberanian mereka menyuarakan keadilan. Peristiwa ini menjadi titik balik yang memperkuat solidaritas global para pekerja dan menetapkan tanggal 1 Mei sebagai simbol perjuangan mereka.

Namun refleksi atas Hari Buruh seharusnya tidak berhenti pada peringatan sejarah semata. Kita perlu menghayatinya secara lebih dalam: sebagai refleksi kemanusiaan. Kerja, pada dasarnya, adalah bentuk ekspresi manusia yang paling mendasar. Sejak zaman purba, manusia bekerja untuk bertahan hidup, menciptakan budaya, dan menata lingkungan. Tetapi dalam masyarakat modern, kerja sering kali terdistorsi menjadi alat produksi belaka—yang nilainya ditentukan bukan oleh kemanusiaan, melainkan oleh efisiensi dan keuntungan.

Karl Marx, dalam analisisnya yang tajam, memperkenalkan konsep alienasi atau keterasingan buruh. Ia menulis bahwa dalam sistem kapitalis, buruh terasing dari hasil kerjanya, dari proses produksinya, dari sesama pekerja, dan bahkan dari dirinya sendiri. Marx menyatakan, “Semakin banyak pekerja menghasilkan, semakin sedikit yang dapat mereka miliki.” Artinya, produktivitas yang tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan, karena nilai kerja tidak lagi ditentukan oleh manusia itu sendiri, tetapi oleh kekuatan pasar dan kepemilikan modal. Kritik ini masih relevan hingga hari ini, terutama ketika kita menyaksikan bagaimana sebagian besar pekerja hidup dalam bayang-bayang upah minimum, sementara sebagian kecil elite menikmati kekayaan tak terbatas.
Namun di sisi lain, filsuf seperti Hannah Arendt menempatkan kerja dalam posisi yang lebih kompleks. Dalam The Human Condition, Arendt membedakan antara kerja (labor), karya (work), dan tindakan (action). Ia melihat kerja sebagai sesuatu yang bersifat siklik, melelahkan, dan bertujuan mempertahankan hidup, namun ia juga menyadari bahwa pekerjaan adalah bagian tak terpisahkan dari keberadaan manusia. Yang menjadi masalah adalah ketika kerja direduksi hanya sebagai alat bertahan hidup, tanpa ruang untuk martabat dan kebebasan. Dalam kondisi seperti itu, manusia tidak lagi hidup sebagai subjek merdeka, melainkan sebagai objek dari sistem yang tak peduli pada nilai kemanusiaan.

Di era modern, wajah perbudakan tidak lagi berbentuk rantai besi atau kerja paksa di ladang kapas. Perbudakan kini hadir dalam bentuk jam kerja tak terbatas, kontrak kerja sementara, ketergantungan pada teknologi yang mengaburkan batas antara ruang pribadi dan profesional, serta tekanan mental yang menggerus kesehatan psikologis. Sistem kerja digital seperti gig economy menjadikan para pekerja semakin fleksibel, namun pada saat yang sama, semakin rentan dan tak memiliki perlindungan hukum yang memadai. Mereka bisa diberhentikan kapan saja, tanpa pesangon, tanpa jaminan kesehatan, dan tanpa suara.
Fenomena ini diperburuk oleh narasi meritokrasi yang menyesatkan. Kita sering diajarkan bahwa siapa pun bisa sukses asal mau bekerja keras. Namun kenyataannya, tidak semua orang memulai dari garis yang sama. Pekerja buruh kasar yang bekerja sejak pagi hingga malam belum tentu bisa menyekolahkan anaknya setinggi manajer perusahaan yang hanya menghabiskan waktu di ruang ber-AC. Dalam sistem yang timpang, kerja keras saja tidak cukup; yang dibutuhkan adalah keadilan struktural.

Hari Buruh juga mengajak kita untuk melihat kondisi buruh perempuan yang sering mengalami diskriminasi ganda: sebagai buruh dan sebagai perempuan. Mereka sering menerima upah lebih rendah untuk pekerjaan yang sama, mengalami pelecehan di tempat kerja, dan dibebani pekerjaan rumah tangga yang tak pernah diupah. Bell Hooks, seorang pemikir feminis, menyatakan bahwa perjuangan kelas tidak akan pernah selesai tanpa membebaskan perempuan dari struktur patriarki yang mengakar. Maka, pembicaraan tentang buruh harus selalu mencakup perspektif gender.
Di tengah semua ketidakadilan itu, kita perlu bertanya: untuk siapa dunia kerja dibentuk? Apakah hanya untuk keuntungan segelintir pemilik modal, atau untuk kesejahteraan bersama? Hari Buruh adalah panggilan moral untuk menciptakan sistem ekonomi yang tidak hanya efisien, tetapi juga adil. Paulo Freire, tokoh pendidikan asal Brasil, pernah berkata, “Jika pendidikan tidak membebaskan, maka mimpi yang tertanam dalam setiap manusia pun akan dirampas.” Hal yang sama berlaku untuk kerja. Jika kerja tidak membebaskan, maka ia telah kehilangan makna hakikinya sebagai ekspresi kemanusiaan.

Di Indonesia, peringatan Hari Buruh sering kali disambut dengan aksi turun ke jalan. Namun sayangnya, suara-suara buruh sering dipinggirkan, disalahpahami sebagai gangguan ketertiban umum. Media lebih tertarik memberitakan kemacetan akibat demonstrasi ketimbang mendalami substansi tuntutan mereka. Padahal, para buruh itu hanya ingin didengar: bahwa mereka ingin hidup layak, ingin punya waktu untuk keluarga, ingin merasa aman di tempat kerja, dan ingin dihargai sebagai manusia. Apakah itu terlalu berlebihan?

Kita semua adalah bagian dari sistem yang dihidupi oleh kerja. Tanpa buruh, tak ada listrik yang menyala, makanan yang tersaji, jalan yang bisa dilalui, atau teknologi yang bisa digunakan. Kita semua berutang pada kerja orang lain, yang sering kali tidak kita kenal. Maka, merayakan Hari Buruh berarti mengakui ketergantungan itu, dan menghormati kerja orang lain sebagai bagian dari kehidupan kita sendiri.

Sebagai penutup, kita bisa mengingat kata-kata filsuf Prancis, Albert Camus: “Kebesaran manusia terletak pada keputusan untuk tetap bermakna, bahkan dalam dunia yang tampak tak bermakna.” Dalam kerja yang penuh tekanan, dalam sistem yang tidak adil, para buruh tetap bekerja dengan ketekunan. Mereka tidak hanya mencari nafkah, tetapi menjaga dunia tetap berjalan. Dan dalam tindakan sederhana itu, ada kebesaran yang tidak bisa diukur oleh angka keuntungan. Momentum tahunan untuk mengingat bahwa dunia kerja harus terus diperjuangkan agar menjadi lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih bermakna. Sebab selama masih ada satu orang buruh yang tertindas, selama masih ada satu suara yang tak didengar, maka tugas kita sebagai sesama manusia belum selesai.

Baca juga https://sukabumikahiji.com/membangun-kenegarawanan-dari-daerah-refleksi-untuk-pemimpin-masa-depan/ 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *