Keinginan atau Aspirasi? Cara Menjadi Manusia!..

Kadang yang kita mau bukan yang kita butuh. Dan yang kita butuh, sering kali tak langsung terasa menyenangkan.

Di Dunia yang bergerak begitu cepat—didorong oleh algoritma, impresi, dan harapan instan—kita jarang diberi ruang untuk membedakan antara keinginan dan aspirasi. Kita ingin hal-hal yang cepat, nyaman, dan langsung terasa menyenangkan.

Kita ingin gawai terbaru, validasi sosial, rasa aman dalam bentuk pengakuan, dan kehidupan yang tampak tanpa cela. Tapi di balik semua keinginan itu, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah semua yang kita inginkan itu benar-benar membawa kita pada kehidupan yang bermakna?

Keinginan adalah bagian dari naluri dasar manusia. Psikoanalis Sigmund Freud menyebutnya sebagai dorongan “id”, bagian dari diri kita yang mencari kepuasan seketika.

Ia bersifat impulsif, lahir dari hasrat dan emosi yang tidak selalu rasional. Sementara aspirasi lebih dekat dengan gagasan Viktor Frankl tentang “kehendak untuk makna”—hasrat untuk hidup secara utuh dan bernilai. Aspirasi bukan sekadar ingin memiliki, tetapi ingin menjadi.

Ia lahir dari pengalaman, refleksi, nilai, dan imajinasi tentang masa depan yang lebih baik.Di sinilah peran kesadaran menjadi krusial. Bila kita terus-menerus mengikuti keinginan tanpa jeda untuk berpikir, hidup bisa berubah seperti lari di atas treadmill: sibuk, lelah, tapi tak benar-benar maju. Kita menjadi seperti tokoh-tokoh dalam kritik budaya Jean Baudrillard: terjebak dalam konsumsi simbol dan kesenangan semu.

Sebaliknya, aspirasi memberi arah dan kedalaman. Ia memang tidak selalu menyenangkan di awal, tapi punya kekuatan untuk membentuk karakter, memperluas makna hidup, dan membawa kita pada pertumbuhan jangka panjang.

Kesadaran untuk membedakan antara keinginan dan aspirasi sering muncul di momen-momen gelisah—saat kita meraih sesuatu, tapi tetap merasa kosong. Saat melihat orang lain hidup dengan tenang meski tidak glamor. Atau saat kita bertanya pada diri sendiri, “Apa yang sebenarnya aku cari?” Momen-momen ini seperti yang dikatakan Carl Jung sebagai “proses individuasi”, di mana manusia mulai menyelami bayang-bayang dalam dirinya untuk menemukan siapa ia sebenarnya.

Dalam konteks era digital yang serba instan, kesadaran ini menjadi lebih mendesak. Anak muda yang dikejar standar sosial media, pekerja yang terjebak rutinitas tanpa makna, orang tua yang ingin mendidik anak dengan nilai ketimbang gengsi, hingga para aktivis yang mulai lelah dengan simbol tapi haus akan substansi—semua membutuhkan jeda. Sebuah ruang untuk bertanya: apakah aku sedang hidup mengikuti keinginan orang lain, atau sedang berjalan setia pada aspirasi diri sendiri?

Konflik antara keinginan dan aspirasi terjadi secara halus namun mendalam—bukan di luar, tetapi di dalam. Saat ingin menyerah tapi tahu bahwa bertahan adalah jalan tumbuh. Saat ingin tampil hebat di depan orang lain, tapi sadar bahwa yang penting adalah kejujuran terhadap diri sendiri.

Rasionalitas, dalam pandangan filsuf Yunani seperti Aristoteles, bukan sekadar logika, tapi adalah bagian dari “eudaimonia”—kehidupan baik yang seimbang antara akal, emosi, dan tindakan etis. Menjadi rasional artinya mencintai diri sendiri dengan memilih yang membentuk, bukan yang sekadar memuaskan.Lalu, bagaimana menjadi manusia yang lebih bijak dan rasional di tengah kebisingan ini? Mulailah dengan menyadari keinginan kita setiap hari.

Tanyakan pada diri sendiri, “Apakah ini dorongan sesaat atau bagian dari tujuan jangka panjangku?” Lalu bandingkan dengan aspirasi: “Apa yang sedang aku bangun dalam hidup ini?” Latihlah menunda kesenangan, bukan untuk menyiksa diri, tapi memberi ruang bagi makna. Buat keputusan saat tenang, bukan dalam emosi. Dan yang paling penting: izinkan diri salah, tapi jangan berhenti belajar.

Hidup yang bermakna bukan tentang selalu benar atau selalu menang. Tapi tentang berjalan dengan sadar, pelan-pelan, menuju diri yang lebih utuh. Kita semua punya keinginan. Tapi aspirasi adalah yang membentuk siapa kita. Jadilah manusia yang tak hanya tahu apa yang kamu mau, tapi juga tahu siapa kamu ingin menjadi.

Seperti kata filsuf Denmark Søren Kierkegaard, “Hidup hanya bisa dipahami ke belakang, tapi harus dijalani ke depan.” Maka, jalanilah dengan kesadaran, bukan sekadar keinginan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *