Menimbang Aspirasi Demokrasi di Tengah Bayang-Bayang Populisme
Demokrasi di Indonesia tidak hadir begitu saja. Ia tumbuh dari sejarah panjang perjuangan, dari darah dan air mata rakyat yang menginginkan kebebasan, keadilan, dan kesetaraan.
Namun di era ini—era digital, budaya instan, dan politik pencitraan—kita perlu bertanya kembali: apakah kita sedang membuat pilihan-pilihan yang sehat untuk demokrasi kita?
Pemilu lima tahunan, debat publik di televisi, dan euforia kampanye hanyalah permukaan dari demokrasi. Demokrasi sejati adalah ekosistem nilai: transparansi, partisipasi aktif, kesetaraan hak, serta kemampuan berpikir kritis tanpa kehilangan etika dalam perbedaan.
Sayangnya, kita kerap jatuh pada jebakan demokrasi prosedural—sibuk memilih, tapi lupa membangun gagasan. Terjebak dalam fanatisme tokoh, bukan keberanian merawat ide. Padahal, demokrasi yang sehat tidak cukup dengan suara mayoritas—ia perlu kedalaman akal sehat, keberanian moral, dan nalar publik yang terus diasah.
Dalam konteks ini, pemikiran Nadia Urbinati, seorang filsuf politik asal Italia, menjadi relevan. Ia memperingatkan bahwa demokrasi bisa membusuk dari dalam ketika konsep “representasi” direduksi menjadi alat bagi populisme.
Dalam pembacaan kritis yang ditulis oleh Pius Pandor dalam bukunya Pembusukan Demokrasi: Representasi Populis dan Implikasinya bagi Demokrasi dalam Filsafat Politik Nadia Urbinati (2024), dijelaskan bahwa populisme kerap menyederhanakan kehendak rakyat menjadi satu suara tunggal, dan mengklaim bahwa hanya mereka—kaum populis—yang sah mewakilinya.
Representasi populis, kata Pandor, bukan hanya menjebak dalam jargon “atas nama rakyat”, tapi juga membunuh pluralisme, mengikis kebebasan berpikir, dan mengaburkan mekanisme akuntabilitas.
Rakyat, dalam kerangka populis, tak lebih dari “penanda kosong”—simbol yang bisa dimanipulasi sesuai kepentingan elit. Demokrasi yang seharusnya menjamin keberagaman, justru dipersempit oleh retorika tunggal yang anti-kritik.
Kondisi ini sangat terasa dalam konteks Indonesia. Polarisasi politik, sentimen identitas, dan pengaburan fakta di media sosial telah menjadi tantangan besar. Di sinilah kita butuh pilihan-pilihan sehat untuk menjaga agar demokrasi tidak menjadi panggung kosong dengan aktor-aktor populis yang memainkan narasi tanpa nilai.
Pilihan sehat pertama adalah membangun budaya berpikir kritis dan etis. Kita perlu membedakan antara perbedaan pendapat dan permusuhan. Ruang publik harus mendorong debat yang sehat, bukan sekadar amplifikasi kebencian. Demokrasi sejati tidak lahir dari keseragaman, tapi dari keberanian menghormati perbedaan.
Pilihan sehat berikutnya adalah menjaga independensi lembaga-lembaga demokrasi—dari media, pengadilan, kampus, hingga badan pengawas pemilu. Demokrasi bisa gagal bukan karena kudeta bersenjata, melainkan karena diamnya nalar publik saat lembaga-lembaga ini dikompromikan.
Hannah Arendt pernah mengingatkan bahwa kejahatan terbesar dalam politik seringkali bukan karena niat jahat, tapi karena ketaatan buta terhadap sistem yang tidak lagi dipertanyakan.
Demokrasi yang sehat juga tumbuh dari bawah. Dari desa, komunitas, dan organisasi sipil, pendidikan politik yang kritis, plural, dan kontekstual harus diperkuat. Demokrasi tidak boleh hanya hidup di ibu kota, tapi juga berdenyut di kampung-kampung yang selama ini terpinggirkan.
Akhirnya, demokrasi membutuhkan warga yang bertanggung jawab. Bukan hanya sebagai pemilih, tapi sebagai penjaga nilai. Demokrasi tak akan selamat jika diserahkan hanya pada elit. Tapi ia bisa bertahan jika dirawat oleh rakyat yang sadar, cerdas, dan berani melawan arus populisme yang menyesatkan.
Sebagaimana ditegaskan oleh Urbinati, demokrasi bukan sekadar mekanisme kekuasaan, melainkan ruang di mana kebebasan, kesetaraan, dan tanggung jawab moral diuji setiap hari. Kita tidak hanya memilih siapa yang berkuasa, tapi juga menentukan arah peradaban bangsa.
Maka, jika kita ingin demokrasi Indonesia tetap hidup dan bermartabat, mari mulai dari hal-hal kecil tapi konsisten: jujur dalam informasi, bijak dalam debat, kritis dalam kesetiaan politik, dan setia pada kebenaran meski tak populer. Demokrasi bukan hanya sistem, tapi cermin siapa kita sebagai bangsa. Dan pilihan-pilihan sehat hari ini akan menentukan wajah demokrasi kita esok.
Referensi:
Nadia Urbinati, Democracy Disfigured (2014)
Pius Pandor, Pembusukan Demokrasi (2024)
Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963)