Oleh: Stafflampau279
Di tahun 2025, Indonesia berdiri di persimpangan antara kemajuan teknologi dan krisis nilai-nilai politik. Di tengah hiruk-pikuk digital dan banjir informasi, muncul kebutuhan akan sosok pemimpin pemikiran yang jernih, berani, dan penuh integritas.
Dalam konteks ini, Haji Oemar Said Tjokroaminoto—tokoh pergerakan nasional abad ke-20—kembali relevan. Tapi bukan sebagai tokoh sejarah semata, melainkan sebagai spirit yang hidup dan menuntut perwujudan baru: Cokroaminoto Muda 2025.
Jejak Pemikiran Tjokroaminoto yang Tak Pernah Mati Cokroaminoto dikenal sebagai pemimpin Sarekat Islam (SI), organisasi rakyat bumiputra terbesar di awal abad ke-20 yang menggabungkan semangat ekonomi kerakyatan, nasionalisme, dan ajaran Islam[¹]. Ia bukan hanya organisator, tetapi juga pendidik tokoh—Soekarno, Semaun, Musso, dan Kartosoewirjo pernah menimba ilmu dari rumahnya di Surabaya, yang dijuluki “Sekolah Politik Rakyat”.
Pemikiran yang oetama bercirikan sosialisme Islam, di mana prinsip-prinsip keadilan sosial, solidaritas umat, dan etika Islam berpadu dalam perlawanan terhadap penjajahan dan ketimpangan kelas[²]. Ia menolak feodalisme, menyerukan persamaan derajat, dan mendorong rakyat untuk “berfikir merdeka”.
Relevansi Tjokro di Era Post-Demokrasi
Dalam bukunya Democracy and Its Crisis, David Runciman menyebut bahwa demokrasi hari ini bukan tanpa kelemahan: rakyat boleh memilih, tapi sering tidak menentukan arah. Di Indonesia, ICW melaporkan pada 2024 bahwa 58% caleg DPRD kabupaten/kota berasal dari dinasti politik atau relasi bisnis, bukan aktivis rakyat[³].
Di sinilah posisi Cokroaminoto Muda menjadi penting. Ia harus mengembalikan arah politik ke tangan rakyat—bukan dengan amarah, tapi dengan pendidikan kritis dan narasi kebangsaan yang progresif. Seperti dikatakan Buya Syafii Maarif, “Tanpa kebangsaan yang tercerahkan dan keislaman yang toleran, Indonesia akan kehabisan napas moral”[⁴].
Strategi Menjadi Cokroaminoto Muda
1. Kuasa Kata, Bangun Wacana
Yang utama gelar pada beliau terkenal dengan ucapannya: “Barangsiapa ingin menjadi pemimpin besar, hendaklah ia mendidik dirinya dahulu, menulis dan membaca adalah syaratnya.” Maka, menulis di era digital adalah senjata utama. Media sosial, blog, podcast, dan jurnal pemikiran harus menjadi ladang jihad narasi.
2. Bangun Lingkar Kritis Anak Muda
Rumah beliau adalah tempat belajar ideologi atau disebut rumah publik. Cokroaminoto Muda 2025 harus membangun kembali “rumah-rumah gagasan”—baik secara daring maupun luring—untuk menumbuhkan kader pemikir, bukan hanya buzzer.
3. Berani Bicara, Jujur dalam Etika
Beliau berdiri di forum publik dengan orasi tajam namun santun. Ia menyerang sistem, bukan orang. Anak muda hari ini perlu hadir di forum publik bukan untuk sensasi, tapi untuk menyusun solusi.
4. Jembatani Agama dan Sosial
Beliau menggabungkan nilai-nilai Islam dengan agenda sosial kerakyatan—bukan dalam bentuk formalisme syariat, tetapi etika pembebasan. Maka, genetik Cokroaminoto Muda juga mesti membumikan Islam progresif dalam isu keadilan ekonomi, lingkungan, dan hak minoritas.
Penutup: Api, Bukan Abu
H.O.S. Tjokroaminoto tidak mewariskan sistem, ia mewariskan nyala. Menjadi Cokroaminoto Muda 2025 bukan berarti menjadi pengagum masa lalu, tetapi pewaris tanggung jawab masa depan.
Bukan penjaga abu, tapi pembawa api. Ketika negara semakin dikendalikan oleh kuasa modal dan elite menara gading, kita butuh pemimpin yang muncul dari rakyat—yang membaca, berpikir, dan bergerak. Sebab seperti kata beliau sendiri, “Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan, dan berbicaralah seperti orator.” Kini, waktunya kamu mengambil peran itu.
Daftar Referensi
[1] Benda, Harry J. The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation, 1942–1945. The Hague: W. van Hoeve, 1958.
[2] Deliar Noer. Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900–1942. LP3ES, 1980.
[3] Indonesia Corruption Watch (ICW), Laporan Pemilu 2024: Oligarki Elektoral dan Lemahnya Partisipasi Rakyat, www.antikorupsi.org
[4] Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Yogyakarta: Mizan, 2009.
[5] Tjokroaminoto, H.O.S. Islam dan Sosialisme. Terbitan ulang: LKiS, 2000.